Aku
memasukkan surat ke dalam lokernya mengajak untuk bertemu. Aku harus
menceritakannya kepada Danny. Saat bertemu, ia mengira aku ingin pergi ke rumahnya
dan ‘melakukannya.’ Sesampai di rumahnya, ia merenggut diriku. Aku menjerit dan
mendorongnya, bahkan aku mendorongnya begitu kuat sampai dia sempoyongan. “Kamu
berani mendorongku, perempuan jalang!” katanya. Aku menentangnya untuk pertama
kali dan berkata dengan nada dingin. “Aku bukan perempuan jalang. Aku… aku
adalah ibu anakmu yang belum lahir.”
“Tak
mungkin,” dia mendesis.
“Kita
harus membicarakan hal ini dengan tenang dan dengan pikiran jernih,” kataku.
“Tak
ada yang harus dibicarakan.”
“Ada
yang harus dibicarakan. Aku… “
“Aku
tahu siapa kamu. Kamu pelacur kotor yang ceroboh.” Dia menampar wajahku keras
sekali, rasanya tulang leherku sampai retak. Tapi aku tetap tegar.
“Aku
pacarmu, dan sekarang aku hamil. Kamu harus menolongku memutuskan mau diapakan
kehamilan ini.”
Dia
memukulku lagi, kali ini meninju perutku dan berteriak. “Anak harammu bisa saja
anak lelaki lain yang bersenang-senang denganmu.”
Aku
merasa sangat hina dan nista. Rasanya ingin sekali berbalik dan pergi, tapi ada
kekuatan besar yang membuatku tetap berada di situ, menangis dan mengemis dan
memohon kepadanya untuk bertanggung jawab.
Akhirnya
dia bertanya, “Apa yang kamu inginkan dariku?”
Aku
tersentak dan berkata terbata-bata. “Bagaimana… bagaimana kalau kita menikah
saja?”
Dia
menjadi semakin murka. “Aku baru enam belas tahun, tahu? Kamu pikir aku
bersedia mengorbankan hidupku demi kamu dan anak harammu?” Suaranya serak dan
bergetar, “Mengorbankan football? Sekolah? Universitas? Pesta? Kebebasan?
Kesenangan? Enak saja! Barangkali kamu sengaja hamil untuk menjebakku.”
Aku
terisak. “Tapi…”
“Jangan
mimpi, cewek brengsek! Aku tak akan termakan tipu muslihatmu. Bagiku kamu
hanyalah seonggok daging putih yang malang, yang berusaha menyeret cowok kaya
raya ikut denganmu masuk ke comberan.”
Dia
mengangkat tangannya, dan aku mengelak sehingga dia tak bisa memukul perutku
lagi.
“Itu
urusanmu, brengsek! Kamu yang harus menanganinya sendiri.”
Karena
ketakutan sekali dan jiwaku sudah berdarah-darah, aku berlutut memeluk kakinya.
“Aku bersedia … melakukan aborsi kalau itu yang kamu mau.”
Dia
menarik sebelah tanganku dan menyeretku ke teras. “Tipu saja cowok lain dengan
air mata buayamu itu. Cowok yang sudah pernah menikmati dirimu.” Kemudian dia
meninggalkan aku dan pergi dengan mobilnya.
Rasanya
begitu terhina dan nista. Bagaimana bisa aku pernah memandangnya sebagai
makhluk mulia ciptaan Tuhan yang menyemarakkan dunia? Dia tidak lebih dari
sekedar binatang keji yang egois, mementingkan diri sendiri, sombong.
Sumber : Anonim.
2005. Annie's Baby. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar