THINK

THINK

15 Juni 2014

Annie's Diary

Aku memasukkan surat ke dalam lokernya mengajak untuk bertemu. Aku harus menceritakannya kepada Danny. Saat bertemu, ia mengira aku ingin pergi ke rumahnya dan ‘melakukannya.’ Sesampai di rumahnya, ia merenggut diriku. Aku menjerit dan mendorongnya, bahkan aku mendorongnya begitu kuat sampai dia sempoyongan. “Kamu berani mendorongku, perempuan jalang!” katanya. Aku menentangnya untuk pertama kali dan berkata dengan nada dingin. “Aku bukan perempuan jalang. Aku… aku adalah ibu anakmu yang belum lahir.”
“Tak mungkin,” dia mendesis.
“Kita harus membicarakan hal ini dengan tenang dan dengan pikiran jernih,” kataku.
“Tak ada yang harus dibicarakan.”
“Ada yang harus dibicarakan. Aku… “
“Aku tahu siapa kamu. Kamu pelacur kotor yang ceroboh.” Dia menampar wajahku keras sekali, rasanya tulang leherku sampai retak. Tapi aku tetap tegar.
“Aku pacarmu, dan sekarang aku hamil. Kamu harus menolongku memutuskan mau diapakan kehamilan ini.”
Dia memukulku lagi, kali ini meninju perutku dan berteriak. “Anak harammu bisa saja anak lelaki lain yang bersenang-senang denganmu.”
Aku merasa sangat hina dan nista. Rasanya ingin sekali berbalik dan pergi, tapi ada kekuatan besar yang membuatku tetap berada di situ, menangis dan mengemis dan memohon kepadanya untuk bertanggung jawab.
Akhirnya dia bertanya, “Apa yang kamu inginkan dariku?”
Aku tersentak dan berkata terbata-bata. “Bagaimana… bagaimana kalau kita menikah saja?”
Dia menjadi semakin murka. “Aku baru enam belas tahun, tahu? Kamu pikir aku bersedia mengorbankan hidupku demi kamu dan anak harammu?” Suaranya serak dan bergetar, “Mengorbankan football? Sekolah? Universitas? Pesta? Kebebasan? Kesenangan? Enak saja! Barangkali kamu sengaja hamil untuk menjebakku.”
Aku terisak. “Tapi…”
“Jangan mimpi, cewek brengsek! Aku tak akan termakan tipu muslihatmu. Bagiku kamu hanyalah seonggok daging putih yang malang, yang berusaha menyeret cowok kaya raya ikut denganmu masuk ke comberan.”
Dia mengangkat tangannya, dan aku mengelak sehingga dia tak bisa memukul perutku lagi.
“Itu urusanmu, brengsek! Kamu yang harus menanganinya sendiri.”
Karena ketakutan sekali dan jiwaku sudah berdarah-darah, aku berlutut memeluk kakinya. “Aku bersedia … melakukan aborsi kalau itu yang kamu mau.”
Dia menarik sebelah tanganku dan menyeretku ke teras. “Tipu saja cowok lain dengan air mata buayamu itu. Cowok yang sudah pernah menikmati dirimu.” Kemudian dia meninggalkan aku dan pergi dengan mobilnya.

Rasanya begitu terhina dan nista. Bagaimana bisa aku pernah memandangnya sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan yang menyemarakkan dunia? Dia tidak lebih dari sekedar binatang keji yang egois, mementingkan diri sendiri, sombong.


Sumber : Anonim. 2005. Annie's Baby. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar